URGENSITAS SANAD DAN SOSOK MURABBI DALAM MENAPAKI JALAN THALIBUL ILMI
URGENSITAS SANAD DAN SOSOK MURABBI
Hadirnya revolusi internet telah menimpakan banyak problem yang harus segera kita tangani, salah satunya adalah problem kacaunya pemahaman keagamaan ditengah-tengah umat, sebagai akibbat dari menjamurnya media social yang dibungkus dengan arus globalisasi.
Hal ini meniscayakan kita untuk mengetengahkan
kembali pentingnya bersikap selektif dalam menyerap informasi dan materi-materi
keagamaan,dengan memilih hanya dari sumber-sumber yang jernih: yang jelas sanad
keilmuannya, yang materi-materi kajiannya tidak kontroversial, dan
kriteria-kriteria semisalnya, sebagaimana diuraikan dalam kiab-kitab basic di
pesantren semacam Ta’limul-Muta’allim.
Mari kita berfikir jernih sebentar, Secara sederhana
dapat kita rumuskan, bahwa rusaknya pemahaman keagamaan yang beredar di
tengah-tengah umat itu datang dari tiga sumber.
Pertama, dari kalangan yang terobsesi oleh apa
yang mereka sebut “kemurnian agama”. Sehingga mereka merasa tidak membutuhkan
perangkat-perangkat apapun untuk memahami agama, dan karena itu mereka langsung
menuju sumber utamanya. Yaitu al-quran dan al-hadist. Atas nama kemurnian agama. Mereka mengklaim bahwa
merujuk pada sumber-sumber selain kedua kitab itu adalah tidak otentik, dan
bisa mengontaminasi pemahaman agama kita, sehingga menjadi tidak murni. Untuk
itu, mereka membangun metodelogi mereka sendiri, yang selanjutnya kita kenal
dengan metodelogi tektual. Karena itu, kelompok ini kita kenal dengan kelompok
tekstualis.
Kedua, datang dari kalangan yang terobsesi
dengan apa yang mereka sebut “ pengembangan atau pembaharuan”. Kelompok ini
merupakan antithesis dari kelompok pertama, dimana mereka justru tidak mau
berpegang sama sekali terhadap teks al-quran dan al-hadist. Mereka menduga
bahwa pembacaan terhadap teks yang apa adanya adalah kebodohan, dan itu
mengerdilkan terhadap agama dan para pemeluknya. Karena itu, mereka justru
mengikutkan teks pada peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang terjadi, dengan cara
melakukan penafsiran dan penakwilan tanpa mengindahkan metodelogi yang
dirumuskan para ulama. Malah, mereka
meminjam metodelogi para orientalis barat yang non-muslim. Kelompok ini
selanjutnya kita kenal sebagai kalangan liberalis.
Ketiga, datang dari kelompok yang tidak ilmiah
sama sekali, mereka bukan sebagaimana kelompok pertama yang sangat berpegang
pada nash, meskipun dalam kader yang sangat kebablasan. Mereka juga
bukan pengaplikasi metodelogi dan pikiran-pikiran ilmuwan barat sebagaimana
kelompok kedua. Mereka adalah orang-orang tidak berilmu, tetapi pandai
berbicara, dan sialnya orang-orang awam justru gandrung dengan mereka;
mengundang mereka pada forum forum tertentu, lalu mereka berbicara banyak hal
soal perkara agama dan bahkan sampai berani berfatwa. Di zaman yang telah
dilingkupi oleh media social seperti saat ini, keberadaan mereka semakin
menjamur. Meskipun demikian carut-marut yang terjadi di tengah-tengah umat,
tetaplah scenario allah tidak aka ada yang bisa menghalangi dari apa yang telah
di tetapkan allah, sebagaimana yang telah termaktub didalam kalam hikmah ibnu
athaillah :
وما كان عطأ ربّك محظورا
“Dan pemberian Tuhanmu tidak dilarang”
Bagaimanapun, rusaknya pemahaman dan amaliah
keagamaan umat dewasa ini tak lain karena ulah salah satu atau gabungan dari tiga
kelompok yang irasional di atas. Dan. Jika kita hendak menemukan akar masalah
penyebab dari irasionalnya ketiga kelompok diatas , maka secara ringkas dapat disimpulkan,
bahwa penyebabnya adalah karena mereka mengambil ilmu-ilmu atau ajaran-ajaran islam
tidak sebagaimana seharusnya; tidak komprehensif, tidak runtut, dan tenpa
kesinambungan sanad keilmuan dan pengalaman. Hal itu bisa dijelaskan begini:
Bahwa untuk mendapatkan pemahaman yang benar
tentang islam dalam berbagai aspeknya, diperlukan terhimpunnya tiga komponen
penting secara lengkap. Jadi ketiga komponen ini tidak boleh ada yang
tertinggal. Ketiganya adalah; pertama nassh
atau sumber rujukan yang dalam hal ini adalah al-quran dan al-hadist; kedua
adalah metodelogi yang baku untuk menggali pemahaman dan hukum dari nash;
ketiga adalah ulama yang memiliki kemampuan khusus sehingga bisa
mengaplikasikan metodelogi terhadap nash, berkaitan dengan peran
penting ulama (murabbi) dalam
proses mencari ilmu, sudah barang tentu disitu yang dimaksud adalah seorang Sosok yang sanad keilmuannya
musalsal, dimana sanad itu diperoleh melalui proses belajar secara langsung
antara murid dengan murabbi. Sehingga didalam pribadi sosok
itulah ada berbagai macam multi kurikulum ilmu dan multi demensial yang dapat pilih
oleh seorang murid secara langsung sesuai dengan kebutuhan yang
dibutuhkan murid. dari sudut mana murid mau mengambilnya, itu semua tergantung
pada pribadi murid masing-masing.
Nah, jika ketiga komponen itu telah lengkap
lalu dipadukan, maka akan terlahir pemahaman agama yang utuh. Namun, jika tidak
lengkap, misalnya hanya ada nash atau sumber rujukan (al-Quran dan al-hadist),
tetapi tidak ada metodelogi dan ulama, dalam arti orang awam secara langsung
merujuk langsung pada nash (al-Quran dan al-hadist ), maka ditakutkan
akan melahirkan pemahaman-pemahaman yang keliru, irasional dan menyesatkan.
Begitupun halnya jika hanya ada ulama dan nash, tetapi tidak memakai
metodelogi baku tentu juga akan melahirkan paham yang irasional, seperti para
memikir liberal yang menggunakan metodelogi tidak baku (mengadopsi metodelogi
orientalis barat) dalam menggali pemahaman dari nash.
Salah satu lembaga yang berperan penting dalam
menjaga orisinalitas keilmuan yang sanad keilmuaannya tidak diragukan adalah
pesantren. Hingga saat ini pesantren masih memegang teguh pertanggungjawaban
dan perizinan dalam pengajaran ilmu yang jelas dan terpercaya. Hal ini bisa
dilihat dari setiap pelajaran yang diajarkan dipesantren pasti memiliki
kesinambungan sanad dari satu guru ke guru sebelumnya hingga ke pengarang
kitabnya, lalu tersambung lagi hingga ke Rosulullah Saw. Inilah yang menjadikan
ajaran islam terus terjaga kemurniaannya, baik dari sisi pemahaman maupun
kualitasnya. Saking pentingnya sanad keilmuan sehingga imam Abdullah bin
al-Mukbarak mencercah didalam kalamnya:
يرتقي السّطح بلا سلّم مثل الّذى يطلب أمردينه بلا اسناد كمثل الّذى
“ perumpamaan orang
yang mencari urusan agama tanpa sanad seperti halnya orang yang naik ke atap
tanpa melalui tangga.” Dengan adanya sanad inilah, kesinambungan dan kemurnian
ajaran islam terus terjaga hingga yaumu as-sa’ah.
Imam
muslim pernah meriwayatkan perkataan imam ibnu sirin, salah satu ulama besar
dari kalangan tabi’in;
انّ هذالعلم دين فانظروا عمّن تأخذون دينكم
“ sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka dari itu, perhatikanlah dari
siapa kalian mengambil agama kalian.”
Maqalah imam ibnu
sirin diatas menegaskan bahwa dalam memilih guru harus benar-benar orang yang
ahli dan bisa di percaya, tidak boleh sembarangan.
Di pesantren pada umumnya
ketika hendak mengaji pasti di awali dengan tawasul pada pengarang kitab yang
dikaji serta pada guru-gurunya, guna untuk terjaganya sanad keilmuan yang di
miliki seorang guru, disamping mengajari santrinya tentang betapa urgensinya
suatu sanad keilmuaan,disamping itu juga demi menghindari dari taglid buta.
Sehingga para santri yang mengaji benar-benar tahu dari mana ilmu itu di ambil.
Tentu akan berbeda antara orang yang mengetahui sumber ilmunya dengan orang
yang tidak tahu. Orang yang tahu sumber ilmunya akan lebih mantap ketika
mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.
Al-hasil. Ada
beberapa poin yang perlu digaris bawahi, yaitu sanad memiliki ugensitas yang
sangat tinggi, baik didalam periwayatan al-quran, al-hadist, maupun ilmu-ilmu
yang lain. Kesinambungan sanad di antara para ulama di zaman ini hingga ke
Rosulullah Saw. Inilah yang menjadikan
ajaran agama islam tetap terjaga orisinalitasnya, sehingga orang-orang yang
tidak bertanggung jawab tidak mudah mendistorsikannya. SEMOGA BAROKAH….!
Sae Sae
ReplyDelete