[Pesantren][bsummary]

CORETAN SANTRI

[Coretan Santri][bsummary]

PENA ABUYA

[Pena Abuya][bigposts]

PENA ABUYA

[Pena Abuya][twocolumns]

CORETAN SANTRI

[Coretan Santri][twocolumns]

SANTRI

[Santri][bsummary]

ALUMNI

[Alumni][bsummary]

Mengintip Selayang Pandang Pendidikan Islam


 
Mengintip Selayang Pandang Pendidikan Islam

Oleh: Abi Abdillah


Munculnya risalah Nabawiyah tidak berada dalam vakum kehidupan akan tetapi justru berada di tengah hiruk-pikuk kejayaan 2 kerajaan Romawi dan persia yang sudah ribuan tahun. Tanpa mengintip, menengok apalagi mempelajari pula dua kerajaan tersebut, Rasulullah sallallahu alaihi wasallam menciptakan pola kehidupan yang bernuansa lain, dengan gaya hidup yang sahaja, humanis dan familiar sehingga menarik respon positif dari berbagai kalangan kehidupan mulai dari para pengusaha, tokoh-tokoh masyarakat baik yang tua maupun yang muda ataupun kalangan masyarakat biasa, semua merespon positif terhadap multifungsi yang ditunjukkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sehingga yang dekat semakin dekat yang masih jauh pun penasaran untuk mendekat.


Para sahabat nabi sangat antusias mengikuti secara aktif dalam segala pola kehidupan Rasulullah SAW mulai dari ekonomi, pelayanan kemasyarakatan dan kehidupan dalam menata rumah tangga sampai mendidik putra-putrinya bahkan mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali, mulai dari pra kelahiran hingga pasca kematian.


Tatanan ini sangat melekat dalam diri para sahabat dan diikuti secara utuh oleh generasi berikutnya yang disebut dengan generasi tabiin sampai turun temurun hingga  tabiittabiin dst, sehingga tidak terlalu lama tatanan kehidupan ini merata di dunia sampai masuk ke dalam negeri ini mulai dari abad ke-13 menurut teori Hujarat atau abad ke-7 masehi menurut teori Mekkah.


Datangnya para sunan dan Sultan di Jawa di tengah-tengah kejayaan kerajaan yang lebih dahulu tentunya merupakan tantangan dakwah tersendiri namun dengan penampilan yang sejuk damai santun familier tanpa mengusik ketenangan dan kewibawaan para raja dan kerajaan dapat menjadikan antusias masyarakat bahkan untuk menitipkan putra-putrinya agar dididik dengan harapan untuk mendapatkan tetes an nur Rabbani cahaya didik dengan quwwatur roghbah, dlobt dan harakah daya lekat dan pergerakan yang sesuai dengan talentanya masing-masing.


Diantaranya adalah syekh Jamaluddin al-husain al-akbar alias Sayyid Husein Jumadil kubro atau yang biasa disebut dengan syekh Jumadil kubro seorang ulama dari samarkhan yakni negeri perbatasan antara Azerbaijan dan Rusia yang masuk ke Jawa kurang lebih pada tahun 1390 an dan disusul dengan para Walisongo.


Dalam suasana kehidupan yang sejuk damai bahagia dan sejahtera tiba-tiba datang secara beruntun dan estafet dari berbagai bangsa dengan isu menolak arabisasi di negeri ini dengan berbagai propaganda bahkan sampai mengarah ke kekerasan sehingga berhasil berkuasa mulai sekitar abad ke-15 hingga muncul tokoh pembangkit yang mengakulturasi pusat pernak-pernik budaya di negeri ini mulai dari tahun 1718 oleh Sayyid Sulaiman dijadikan sebagai sentral religius ala ahli shuffatin nabiy.


Setelah alkulturasi ini berjalan secara massif, Belanda yang merasa berhasil menguasai bangsa ini selama 150 tahun. Pada saat itu merasa terusik dan terancam sehingga 100 tahun kemudian pada tahun 1840-an penjajah mendirikan HIS yang berorientasi memecah belah antara pendidikan kultural dan sekolah umum.


Dikotomi pendidikan inilah yang hingga saat ini membuat kebingungan bangsa untuk menilai mana yang sangat diperlukan? Apalagi dengan multi propaganda yang membuat para orang tua sulit memilih untuk putra-putrinya, harus kemana diarahkan dari pendidikan yang ada dengan kurikulum yang hingga saat ini masih dicari standart mutunya.


Islam yang dibawa para sunan dan Sultan di negeri ini selalu mengajarkan pola kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam secara utuh, karena diyakini di dalam diri pribadi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ada berjuta-juta kurikulum sebagai Al insan Al Kamil sekaligus sebagai uswah Hasanah tinggal mau ambil sisi yang mana dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam niscaya akan didapatkan kan an kurikulum yang sesuai dengan siapapun kapanpun dan dimanapun dengan talenta apapun.


Daya juang para sunan dan sultan yang didasari dengan hamlul amanah sehingga semua pergerakannya yang gigih tidak lain hanya bersandar pada  hawlilahi wa quwwatihi tanpa menunggu dukungan dan bantuan dari siapapun dan apapun. Dari ini para sunan dan Sultan mengajarkan putra-putri masyarakat dengan pola yang sahaja tradisional sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada tanpa mengada-ada namun mengena dengan tetap menjaga al-ikhfa' ad dzati (kemandirian ekonomi) sehingga dapat bermanfaat dan mempengaruhi multi kehidupan sampai negeri ini merdeka sesuai yang dikatakan Ki Hajar Dewantoro "seandainya Belanda tidak datang di negeri ini maka yang menjadi pendidikan nasional adalah pesantren" .


Apapun yang terjadi, pendidikan yang diajarkan oleh para tokoh agama Islam masih dapat berjalan secara tradisional dan kultural. Dengan kemandirian, keunikan, kekhasan dan independensinya pendidikan ini berhasil mencetak para tokoh disamping tokoh agama juga tokoh ekonomi dan politik bahkan dapat mengawal berdirinya negara ini mulai dari proses revolusi, resolusi, diplomasi hingga diakuinya NKRI oleh dunia dan bahkan sampai pada era reformasi yang masih perlu dikawal hingga saat ini.


Dualisme pendidikan yang ada di negeri ini akan tetap berjalan dengan positif apabila masing-masing pihak memandang secara Arif dan mensikapi secara bijak. Pada tahun 1975 muncul SKB 3 menteri yang mana pendidikan agama (madrasah) disamakan dengan pendidikan umum (sekolah) seakan-akan pada saat itu sangat positif namun terasa di sana-sini sakralitas dan kualitas dari pendidikan madrasah terkena di gradasi secara perlahan-lahan.


Para tokoh masyarakat muslim sadar tentang itu sehingga bikin lagi namanya madrasah Diniyah dengan jenjang ula wustho dan Ulya tapi setelah habisnya generasi pendiri Diniyah agar mendapat recognisi, afirmasi, dan kasih lembaga ini juga akan kehilangan Marwah dan Izzah nya. Begitu pula sekolah tinggi dengan nama sekolah tinggi Islam yang didirikan kurang lebih pada tahun 1945 dengan harapan besar para kyai menghendaki agar lembaga pendidikan ini akan mencetak para santri intelektual, namun setelah menjadi STAIN, IAIN dan UIN dengan dominasi peraturan pemerintah didasari atau tidak tidak lembaga ini pun menjadi jauh dari harapan pendirinya.


Fenomena yang kita hadapi bersama adalah masuknya pengaruh ini ke lembaga pesantren yang menjadi benteng agama, bangsa dan negara ini. Sudah saatnya kah kita menyerah rumah tangga besar pesantren di seluruh Indonesia yang jumlahnya mendekati 30 ribu pesantren kepada pihak lain hanya untuk mendapat iba dan uluran tangan regonisi (pengakuan) afirmasi (kebebasan) fasilitasi (bantuan). Sudah se-emergensi itukah situasi dan kondisi pesantren di seluruh negeri ini yang dengan harus melepaskan kriteria asli yang berupa unik, khas, mandiri dan independen yang akan di siapkan dengan beberapa peraturan menteri atau Perpres yang ada di UU pesantren dengan cara dan taktik sistematika memasang badan yang secara spesifik dan otomatis akan mendominasi daripada sistem pengelolaan pesantren yang dinamakan majelis masyayikh.


Kiranya hal-hal inilah yang sangat memerlukan perhatian para tokoh muslim, kyai, dan habaib dalam menghadapinya dengan penuh kearifan kehati-hatian dalam menjaga khazanah al qodimah yang didapatkan secara turun-temurun dari sanad ke sanad sampai mambaus sanad Rasulullah SAW.


Untuk itu kiranya perlu duduk bersama untuk mencari solusi dan mem-follow up hal-hal tersebut dan jika tidak maka kita semua akan bertanggung jawab dan akan mewariskannya kepada generasi penerus. Semoga seluruh pesantren dan udangnya dijaga dan diberi kekuatan oleh Allah SWT.

No comments:

Post a Comment