[Pesantren][bsummary]

CORETAN SANTRI

[Coretan Santri][bsummary]

PENA ABUYA

[Pena Abuya][bigposts]

PENA ABUYA

[Pena Abuya][twocolumns]

CORETAN SANTRI

[Coretan Santri][twocolumns]

SANTRI

[Santri][bsummary]

ALUMNI

[Alumni][bsummary]

 Oleh: Nink Rima (@rimaa_tok)


Kenapa sulit sekali...?
Kenapa lama sekali...?
Kenapa peluangnya Selalu datang ke dia?
Giliran saya kapan, ya Allah...? 


Pertanyaan berisik itu seringkali muncul saat kita sedang scroll halaman sosial media. Kita bahkan tak berani atau mungkin enggan menyapa teman yang dulu sangat dekat hanya karena seakan sudah berbeda kasta.

Bahkan tak jarang kita yang tanpa beban menyapa, jadi merasa direndahkan karena feedback tak sesuai harapan.
Merasa insecure tanpa alasan. Hanya karena opini yang terbentuk dari prasangka yang belum tentu fakta.

"Kadang manusia disulitkan urusan dunianya, namun dimudahkan rekonsiliasi (Taufiq) atas ketaatan pada Allah sang maha segala. Kadang sebaliknya, manusia diberi kemudahan urusan dunianya, namun defensive pada nilai ketuhanan dan segala bentuknya." (Al-Hikam karya Syekh Ibnu Athoillah Al-sakandari).

Dalam kutipan bahasa aslinya menggunakan kata ربما yang berarti terkadang. Tentu saja faktanya tidak selalu demikian. Tujuan teori tersebut adalah mengarah pada daya manusia untuk tak mudah menyerah dalam meraih determinasinya. 
Saat pekerjaan terasa sulit, tak perlu scrolling halaman sosmed untuk cari motivasi. Faktanya, kinerja sesuatu menjadi motivasi itu tergantung pada kesiapan diri sendiri. Jika hasil masih belum sesuai target, konsisten (istiqomah) saja, sambil terus belajar sampai energy kegagalan tergantikan oleh keberhasilan. Gagal dan berhasil itu bukan semata-mata tentang keberuntungan. Karena manusia punya daya analisa agar tak jatuh pada lubang yang sama.


Bukan soal "kenapa selalu dia?" "Kapan giliran saya?" Seperti halnya Allah berikan jatah keberuntungan padanya, maka jatah keberuntungan kita juga tak luput dari perhatiannya. Bukankah yang cepat masih juga mengharap tepat? 
Pengajian Al-Hikam karya Syekh Ibnu Athoillah Al-sakandari. Bersama Abuya KH. MACHFUDZ SYAUBARY. MA.

No comments:

Post a Comment