[Pesantren][bsummary]

CORETAN SANTRI

[Coretan Santri][bsummary]

PENA ABUYA

[Pena Abuya][bigposts]

PENA ABUYA

[Pena Abuya][twocolumns]

CORETAN SANTRI

[Coretan Santri][twocolumns]

SANTRI

[Santri][bsummary]

ALUMNI

[Alumni][bsummary]

Reaksi Kehilangan Tiap Orang itu Memang Berbeda



    Sedih karena kehilangan itu kadarnya sama, yang berbeda pada tiap orang adalah reaksi pertahanan dirinya. Varian tersebut bukan untuk dibandingkan, tapi untuk dipahami, sebagai peduli kita pada orang terdekat yang sedang merasa kehilangan.

1. Denial. 
Adalah pertahanan diri berbentuk penolakan atau penyangkalan pada kesedihan yang datang dengan mengatakan pada orang-orang "Aku nggak papa, kok." Atau menyangkal keadaan. Pura-pura baik saja, padahal sedihnya tak terbendung. Dalam porsi tertentu ini baik, sebagai peredam atas emosi kehilangan itu sendiri, yang nantinya berlahan kita akan dapat menerima keadaan dengan tanpa paksaan. Namun dalam dosis penyangkalan yang parah, justru akan menjadikan sakit psikis yang berat dan butuh konseling.

2. Sublimasi. 
Adalah bentuk pertahanan diri dengan mengalihkan fokus pada tanggung jawab pribadinya sebagai individu yang masih diamanatkan kehidupan. Menyadari sedihnya, namun fokus energinya ia alihkan pada tugas harian yang harus berjalan. Tipe ini masih menangis dalam sepi, namun tampak biasa saja saat bertemu banyak orang. Tak mengelak rasa sedihnya, namun justru menyadarinya dan  lebih memilih untuk menikmati kenangannya.

3. Regression.
Adalah reaksi pertahanan dengan bersikap mundur dari usia aslinya. Berperilaku kekanak-kanakan karena tekanan rasa sakit yang tak tertangani sebelumnya, atau disebabkan oleh perasaan gelisah, stres, cemas dan frustasi sebagai cara untuk mempertahankan egonya. Ini adalah reaksi yang tidak bisa dikontrol. 

4. Displacement. 
Pertahanan diri dari rasa kehilangan dalam bentuk anger (kemarahan.) Marah pada Tuhan, marah pada keadaan, marah pada yang pergi, bahkan marah pada diri sendiri. Menyalahkan segala sesuatu, hingga seluruh energinya terkuras untuk rasa marah itu.

5. Repression. 
Benar-benar menekan rasa sedihnya hingga tak mau menangis, bahkan dia juga tak mau terlihat merasa kehilangan. Penolakannya lebih dari reaksi denial, ia bahkan tak mau membahas peristiwanya, sampai suatu ketika, jika bom waktunya meledak, kemarahannya akan berujung pada depresi. 

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئاً وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ
  (سورة آعمران: 144)

Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”. (QS. Ali Imran: 144).

Ayat tersebut memberikan peringatan pada para sahabat tentang kematian Rasulullah SAW. Berbagai kemungkinan reaksinya menjadi perhatian. Ada kalimat "Apakah kamu akan kembali pada ajaran lama? (Sebelum ajaran islam.)" Bentuk pertahanan diri yang diperhatikan betul adalah bersikap mundur secara mental, dan marah pada Tuhan atas kehilangan tersebut. 

Pada akhir ayat dijelaskan "Allah akan memberi balasan pada orang-orang yang bersyukur." Dalam sebuah tafsir dijelaskan;

والشكر لا يكون إلا بالقيام بعبودية الله تعالى في كل حال

Tidak ada rasa syukur kecuali dengan mendirikan pengabdian terhadap Allah atas setiap keadaan.
.
Jadi jangan membandingkan reaksi kehilangan tiap orang, ya. Atau meremehkan kesedihan oleh rasa kehilangan itu sendiri.

No comments:

Post a Comment